Dalam Kongres II FK KBPA BR tahun 2002, setelah melalui perdebatan intens selama tiga hari tiga malam, akhirnya disepakati sebuah definisi yang menjadi tonggak penting dalam gerakan Pecinta Alam (PA) Indonesia. Definisi ini tidak hanya menjadi pelengkap atas keberadaan kode etik yang telah lebih dahulu disusun sejak Gladian IV tahun 1974 di Makassar, tetapi juga menetapkan secara jelas siapa sesungguhnya yang layak menyandang sebutan Pecinta Alam.
Definisi Resmi:
“Pecinta Alam adalah sekelompok manusia, yang bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, terdidik dan terlatih, serta bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara alam.”
Definisi ini hadir sebagai bentuk kemandirian dalam membentuk identitas, bukan hasil interpretasi instansi luar yang tidak memahami dinamika internal komunitas PA. Layaknya dokter yang memiliki kode etik karena identitas dan pendidikannya yang jelas, maka Pecinta Alam pun harus memiliki dasar yang kuat: siapa mereka dan bagaimana karakteristiknya.
Penjabaran Unsur-Unsur dalam Definisi:
1. Sekelompok Manusia
Pecinta Alam bukan sekadar individu, melainkan sebuah komunitas atau organisasi yang dibentuk atas dasar nilai, idealisme, dan kultur yang sama. Sebagai organisasi, mereka memiliki sistem kontrol terhadap anggotanya, termasuk penerapan kode etik bersama.
Konsekuensi: Aktivitas individu tanpa struktur organisasi tidak termasuk dalam definisi ini.
2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
Takwa dimaknai bukan hanya sebagai kepatuhan formal terhadap perintah agama, tetapi sebagai kondisi spiritual yang memelihara hubungan manusia dengan Tuhan. Konsekuensinya, seorang Pecinta Alam harus haus akan ilmu pengetahuan, karena pemeliharaan hubungan vertikal menuntut penguasaan keilmuan yang relevan.
Konsekuensi: Mereka yang malas belajar atau enggan memahami ilmu terkait, tidak termasuk dalam kriteria ini.
3. Terdidik dan Terlatih
Menjadi Pecinta Alam menuntut proses pendidikan dan latihan sistematis, baik secara teknis (hardskill) maupun mental dan sosial (softskill). Diperlukan sistem pendidikan berjenjang dan metode pelatihan yang terstruktur, termasuk latihan di alam terbuka dan operasi kemanusiaan.
Konsekuensi: Tidak mengikuti pendidikan dan pelatihan berjenjang berarti keluar dari definisi ini.
4. Bertanggung Jawab
Setiap ciptaan memiliki fungsi dan peran. Tanggung jawab dalam konteks Pecinta Alam mencakup tanggung jawab moral, sosial, dan spiritual. Mereka harus mampu memberikan laporan pertanggungjawaban, baik pada sesama maupun pada Tuhan.
Konsekuensi: Orang yang menghindari tanggung jawab tidak termasuk Pecinta Alam.
5. Menjaga dan Memelihara
Menjaga bersifat eksternal, rasional dan logis, seperti tugas keamanan. Sedangkan memelihara bersifat internal, intuitif dan empatik, seperti peran ibu dalam rumah tangga. Seorang Pecinta Alam idealnya mampu menggabungkan dua pendekatan ini secara seimbang.
Konsekuensi: Pendekatan egois atau ‘semau gue’ tak sesuai dengan semangat menjaga dan memelihara alam.
6. Alam
Alam mencakup segala sesuatu dari skala mikro hingga makro, dan manusia berada di tengah-tengahnya. Maka memisahkan manusia dari alam adalah kekeliruan. Mencintai alam harus dimulai dengan mencintai diri sendiri—dengan menjaga kesehatan, keselamatan, dan akal sehat.
Konsekuensi: Mereka yang sembrono, nekat, atau tak peduli keselamatan dan pengetahuan, tidak dapat dikategorikan sebagai Pecinta Alam.
Pemahaman Bertahap, Bukan Kesempurnaan
Memang, jika dilihat dari kedalaman dan kompleksitasnya, definisi ini terasa berat. Namun sebagaimana seseorang tetap berani mengakui agamanya meski belum sempurna menjalankan ibadah, begitu pula dengan Pecinta Alam: bukan kesempurnaan yang dituntut, tetapi kesungguhan untuk menjalani proses menjadi lebih baik.
Penutup
Definisi ini bukan hanya identitas, tetapi arah perjuangan. Membaca mungkin hanya butuh 5 menit, menjelaskannya butuh 3 jam, namun memahami dan menjalaninya akan memerlukan seumur hidup. Itulah nilai seorang Pecinta Alam, menjadi manusia yang terus belajar, bertanggung jawab, dan hadir sebagai bagian dari solusi.
“Menjadi pecinta alam bukan sekadar status, tapi komitmen seumur hidup.”
— Yat Lessie